Panggung Politik di Era Digital: Ketika Komunikasi Menjadi Senjata Dua Mata

7 hours ago 4

Oleh: Fathia Fahkrunnisa

Dulu, politik hanya bisa kita saksikan lewat layar televisi, baca di koran, atau dengar melalui radio. Tapi sekarang, semua orang bisa menjadi bagian dari diskusi politik hanya dengan menggulir layar ponsel. Dunia digital, terutama media sosial, telah membuka pintu lebar bagi siapa pun untuk terlibat dalam pembicaraan politik, menyuarakan pendapat, bahkan memengaruhi opini publik.

Media sosial seperti Instagram, TikTok, X (dulu Twitter), dan YouTube menjadi panggung baru bagi para politisi. Tidak hanya untuk berkampanye saat pemilu, tetapi juga untuk membentuk citra, merespons isu terkini, dan membangun kedekatan dengan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga tidak lagi menjadi penonton pasif. Kita bisa menyukai, membagikan, atau bahkan langsung mengomentari pernyataan politisi secara real time.Di satu sisi, ini adalah perkembangan yang positif. Komunikasi politik menjadi lebih terbuka, interaktif, dan merata. Dulu, suara rakyat kecil sulit didengar, tapi kini, siapa pun bisa viral jika suaranya didukung publik. Komunikasi politik menjadi lebih demokratis karena semua pihak bisa ikut terlibat.

Namun, perkembangan ini juga membawa tantangan besar. Media sosial yang cepat dan bebas justru memudahkan penyebaran informasi yang belum tentu benar. Banyak sekali hoaks, misinformasi, dan fitnah politik yang beredar tanpa kontrol. Parahnya, informasi seperti ini sering kali lebih cepat dipercaya dan disebarkan karena dikemas secara menarik atau memancing emosi.

Komunikasi politik saat ini tidak hanya soal menyampaikan visi dan program. Kini, politisi dituntut untuk tampil menarik secara visual, menyenangkan secara emosional, dan relevan secara sosial. Itulah sebabnya, banyak konten kampanye yang dikemas seperti konten hiburan. Musik latar, lighting, ekspresi wajah, hingga gaya berpakaian dipikirkan secara matang demi memikat audiens digital, terutama generasi muda.Sayangnya, pendekatan seperti ini sering kali mengorbankan isi. Yang lebih ditonjolkan adalah citra, bukan substansi. Akibatnya, masyarakat bisa lebih tertarik pada politisi yang tampil memikat di media sosial, tetapi belum tentu memiliki kualitas kepemimpinan yang baik.

Ini berbahaya, karena kita bisa tertipu oleh kemasan tanpa menyadari isi yang sebenarnya kosong.Fenomena ini juga menciptakan ruang bagi politisi yang lebih fokus pada pencitraan dari pada kerja nyata. Mereka mungkin rajin membuat konten, terlihat dekat dengan rakyat, tetapi minim kontribusi kebijakan. Komunikasi politik yang seharusnya menjadi jembatan antara rakyat dan penguasa, malah menjadi alat pencitraan semata.

Di balik ramainya komunikasi politik di media sosial, kita juga tidak bisa menutup mata dari keberadaan buzzer politik. Mereka ini adalah akun-akun yang sengaja dibentuk untuk menggiring opini, membela tokoh tertentu, atau menyerang lawan politik. Kehadiran mereka sering kali membuat ruang diskusi menjadi tidak sehat.Setiap kritik dibalas dengan serangan.

Setiap perbedaan pendapat dianggap ancaman. Akibatnya, masyarakat menjadi terbelah, saling curiga, dan tidak lagi bisa berdialog dengan tenang. Polarisasi politik pun semakin tajam. Kita bukan hanya berbeda pilihan, tapi juga saling menuduh dan menjatuhkan.Buzzer politik juga kerap memproduksi dan menyebarkan informasi yang menyesatkan. Tujuannya bukan untuk mendidik, tapi untuk membentuk persepsi sesuai agenda tertentu. Padahal, politik yang sehat seharusnya mendorong rakyat untuk berpikir kritis, bukan justru membanjiri mereka dengan informasi palsu.

Teknologi bukan penyebab utama masalah ini. Media sosial, algoritma, dan fitur digital hanyalah alat. Yang menentukan arah komunikasi politik adalah penggunaannya apakah digunakan dengan niat baik, atau justru dimanfaatkan untuk kepentingan manipulatif.Karena itu, yang paling penting sekarang adalah meningkatkan literasi digital dan literasi politik dimasyarakat. Literasi digital membantu kita mengenali mana informasi yang valid dan mana yang menyesatkan. Literasi politik membuat kita lebih cerdas dalam memilih pemimpin, lebih bijak dalam menanggapi isu, dan lebih aktif dalam menjaga kualitas demokrasi.

Etika dalam berkomunikasi juga menjadi hal yang sangat penting. Politisi harus sadar bahwa setiap kata, unggahan, atau video yang mereka buat memiliki dampak. Mereka punya tanggung jawab moral untuk menyampaikan informasi yang jujur, tidak memprovokasi, dan tidak memanipulasi publik demi popularitas.

Di sisi lain, masyarakat juga perlu menahan diri untuk tidak mudah menyebarkan konten yang belum tentu benar. Jangan hanya karena sebuah postingan sesuai dengan perasaan kita, lalu langsung dibagikan. Kita harus lebih kritis, memeriksa sumber informasi, dan berpikir dua kali sebelum menyebarkannya.

Komunikasi politik yang sehat seharusnya mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam kehidupan berbangsa. Bukan hanya saat pemilu, tapi setiap hari. Kita bisa mulai dari hal-hal sederhana: berdiskusi dengan tenang, menyampaikan kritik dengan sopan, menghargai perbedaan pendapat, dan tidak menyebarkan hoaks.Politisi pun harus kembali pada esensi: menyampaikan gagasan, membuka ruang dialog, dan menjawab kritik dengan argumen, bukan dengan emosi. Media sosial bisa menjadi alat yang sangat kuat untuk itu, asalkan digunakan secara bijak.

Bayangkan jika semua politisi menggunakan media sosial untuk memberikan edukasi politik, menjelaskan kebijakan secara terbuka, atau mengajak masyarakat berdialog. Maka ruang digital kita tidak hanya ramai, tapi juga bermutu.
Kita belum tahu seperti apa perkembangan teknologi ke depan. Mungkin akan ada platform yang lebih canggih, interaktif, atau bahkan didukung oleh kecerdasan buatan. Tapi satu hal yang pasti: komunikasi politik akan tetap menjadi kunci utama dalam membangun kepercayaan publik dan menjaga kesehatan demokrasi.Jika komunikasi politik dipenuhi oleh kejujuran, transparansi, dan empati, maka hubungan antara rakyat dan pemimpin akan semakin kuat. Tapi jika komunikasi politik dipenuhi oleh kebohongan, manipulasi, dan pencitraan semu, maka kepercayaan publik bisa runtuh, dan demokrasi kita akan rapuh.

Karena itu, mari kita jaga ruang digital kita bersama-sama. Kita ciptakan komunikasi politik yang bukan hanya ramai, tetapi juga bermakna. Yang bukan hanya menghibur, tapi juga mencerahkan. Yang bukan hanya populer, tapi juga bertanggung jawab.Di era di mana semua orang bisa berbicara, yang paling penting adalah belajar mendengar, berpikir jernih, dan berbicara dengan hati nurani.

*Penulis: Fathia Fahkrunnisa (Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas)

Read Entire Article
Pekerja | | | |