Oleh: Rizky A. Saputra, MP – JFT PMG Madya, Stasiun Klimatologi Sumbar
Musim kemarau tahun 2025 telah dirasakan di Sumatera Barat selama lebih dari dua bulan sejak akhir Mei, dengan curah hujan yang lebih rendah dari biasanya. Bahkan, di Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok, musim kemarau sudah berlangsung lebih dari lima bulan. Wilayah-wilayah yang biasanya diguyur hujan setiap hari kini tidak lagi mengalami pola cuaca seperti itu. Hal ini menjadi salah satu indikator pergeseran musim kemarau dan hujan, sekaligus penanda perubahan iklim yang sedang terjadi.
Wilayah pesisir barat Sumatera Barat dan Kepulauan Mentawai, yang secara iklim tergolong daerah ekuatorial dengan curah hujan tinggi, kini mengalami penurunan hujan dengan karakteristik di bawah normal. Menyikapi kondisi ini, dua kabupaten — Kabupaten Solok dan Kabupaten Lima Puluh Kota — telah mengambil langkah sigap dengan menetapkan status tanggap darurat kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Dalam hal kekeringan meteorologis dan kekeringan pertanian, sejumlah daerah sudah masuk kategori “agak kering” hingga “kering”. Wilayah yang mulai terdampak tersebar di sembilan kabupaten/kota di Sumatera Barat.
Berikut adalah daftar wilayah terdampak kekeringan:
Kabupaten Agam: Palupuh, Pasadama, Kamang Mudiak, Koto Tuo, Palembayan
Kabupaten Lima Puluh Kota: Akabiluru, Guguak, Luhak, Padang Mangatas, Situjuah, Suliki
Kabupaten Pasaman: Kecamatan Rao
Kabupaten Pasaman Barat: Sei Baremas
Kabupaten Sijunjung: Sijunjung, Tanjung Ampalu, Empat Nagari, Kumanis, Kupitan, Lubuk Tarok, Muara Sijunjung, Sumpur Kudus, Tanjung Lolo
Kabupaten Solok: Aripan, Sumani, Surian, Hiliran Gumanti, IX Koto Seilasi, Lembah Gumanti, X Koto Diatas, Danau Kembar, Kubung, Lembang Jaya, Muara Panas, Muaro Pingai
Kabupaten Tanah Datar: Batipuh, X Koto Paninjauan, Padang Ganting, Sei Tarab, Sungayang, Cubadak, Galo Gandang, Malalo, Ombilin Weir, Salimpaung, Rambatan, Saruaso
Kota Bukittinggi dan Kota Payakumbuh: Payakumbuh Barat, Payakumbuh Selatan
Kota Sawahlunto dan Kota Solok: Lubuk Sikarah, Tanjung Harapan
Musim kemarau tahun ini tidak hanya datang lebih awal dari normal, tetapi juga disertai dengan penurunan signifikan pada curah hujan. Hal ini dipicu oleh beberapa faktor atmosfer dan kelautan, di antaranya:
Menguatnya angin monsun Australia yang minim membawa uap air
Suhu muka laut yang berada dalam kondisi netral cenderung hangat
Berkurangnya sirkulasi siklonik di sekitar Laut Mentawai dan ekuator, yang menyebabkan rendahnya ketersediaan uap air
Selain itu, gangguan atmosfer yang terjadi di Samudera Hindia dan wilayah utara seperti Filipina hingga China berdampak luas dalam mengurangi suplai uap air, sehingga pembentukan awan hujan dari arah Samudera Hindia pun semakin sedikit.
Pemerintah Provinsi Sumbar menargetkan tercapainya swasembada pangan, khususnya beras. Berdasarkan data dari laman infopublik.id, target luas tanam padi tahun ini adalah 578.859 hektare. Hingga akhir Juni, baru terealisasi 9.038 hektare. Namun pada Juli, terjadi lonjakan sebesar 36.202 hektare, sehingga total realisasi mencapai 45.554 hektare. Meski begitu, berkurangnya debit air irigasi dan rendahnya curah hujan telah memengaruhi produktivitas sawah secara signifikan.
Di Kabupaten Solok, Tanah Datar, dan Lima Puluh Kota, sawah-sawah sudah mengalami kekeringan. Musim tanam kedua untuk sawah tadah hujan dan irigasi sederhana yang bergantung pada aliran sungai juga telah sangat berkurang. Petani di daerah Malalo (Tanah Datar) sudah mengalami gagal tanam, baik untuk padi maupun jagung. Hal serupa juga dialami di Sei Tarab, Rambatan, Padang Ganting, serta beberapa kecamatan lain di Kabupaten Solok.
Sejumlah petani bawang di Surian masih berupaya untuk terus menanam meski dalam kondisi kekurangan air. Mereka yang memiliki fasilitas irigasi tetes dan sumur cadangan masih bisa berproduksi secara optimal, tetapi petani yang hanya mengandalkan curah hujan harus bersiap menghadapi risiko gagal tanam.
Untuk menghadapi kondisi ini, petani bersama Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait di Sumatera Barat perlu mengambil langkah-langkah adaptif dan antisipatif, seperti penetapan tanggap darurat untuk karhutla. Sebagai contoh, di daerah irigasi Anai 2, Kabupaten Padang Pariaman, yang sedang menjalani perbaikan saluran, aliran air untuk lahan pertanian dari wilayah Sintuk Toboh Gadang hingga Sunur Nan Sabaris dan Ulakan Tapakis telah dihentikan sementara. Oleh karena itu, petani disarankan untuk sementara waktu beralih dari komoditas padi ke tanaman palawija yang lebih tahan kekeringan, seperti jagung.
BMKG Stasiun Klimatologi Sumatera Barat memprediksi awal musim hujan akan mulai terjadi secara bervariasi antara bulan September hingga Oktober 2025. Kita berharap kemarau ini tidak berkepanjangan agar para petani dapat kembali melakukan aktivitas tanam secara normal.
Monitoring Musim Kemarau di Sumatera Barat 2025 dan Mitigasinya
Oleh: Rizky A. Saputra, MP – JFT PMG Madya, Stasiun Klimatologi Sumbar
Musim kemarau tahun 2025 telah dirasakan di Sumatera Barat selama lebih dari dua bulan sejak akhir Mei, dengan curah hujan yang lebih rendah dari biasanya. Bahkan, di Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok, musim kemarau sudah berlangsung lebih dari lima bulan. Wilayah-wilayah yang biasanya diguyur hujan setiap hari kini tidak lagi mengalami pola cuaca seperti itu. Hal ini menjadi salah satu indikator pergeseran musim kemarau dan hujan, sekaligus penanda perubahan iklim yang sedang terjadi.
Wilayah pesisir barat Sumatera Barat dan Kepulauan Mentawai, yang secara iklim tergolong daerah ekuatorial dengan curah hujan tinggi, kini mengalami penurunan hujan dengan karakteristik di bawah normal. Menyikapi kondisi ini, dua kabupaten — Kabupaten Solok dan Kabupaten Lima Puluh Kota — telah mengambil langkah sigap dengan menetapkan status tanggap darurat kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Dalam hal kekeringan meteorologis dan kekeringan pertanian, sejumlah daerah sudah masuk kategori “agak kering” hingga “kering”. Wilayah yang mulai terdampak tersebar di sembilan kabupaten/kota di Sumatera Barat.
Berikut adalah daftar wilayah terdampak kekeringan:
Kabupaten Agam: Palupuh, Pasadama, Kamang Mudiak, Koto Tuo, Palembayan
Kabupaten Lima Puluh Kota: Akabiluru, Guguak, Luhak, Padang Mangatas, Situjuah, Suliki
Kabupaten Pasaman: Kecamatan Rao
Kabupaten Pasaman Barat: Sei Baremas
Kabupaten Sijunjung: Sijunjung, Tanjung Ampalu, Empat Nagari, Kumanis, Kupitan, Lubuk Tarok, Muara Sijunjung, Sumpur Kudus, Tanjung Lolo
Kabupaten Solok: Aripan, Sumani, Surian, Hiliran Gumanti, IX Koto Seilasi, Lembah Gumanti, X Koto Diatas, Danau Kembar, Kubung, Lembang Jaya, Muara Panas, Muaro Pingai
Kabupaten Tanah Datar: Batipuh, X Koto Paninjauan, Padang Ganting, Sei Tarab, Sungayang, Cubadak, Galo Gandang, Malalo, Ombilin Weir, Salimpaung, Rambatan, Saruaso
Kota Bukittinggi dan Kota Payakumbuh: Payakumbuh Barat, Payakumbuh Selatan
Kota Sawahlunto dan Kota Solok: Lubuk Sikarah, Tanjung Harapan
Musim kemarau tahun ini tidak hanya datang lebih awal dari normal, tetapi juga disertai dengan penurunan signifikan pada curah hujan. Hal ini dipicu oleh beberapa faktor atmosfer dan kelautan, di antaranya:
Menguatnya angin monsun Australia yang minim membawa uap air
Suhu muka laut yang berada dalam kondisi netral cenderung hangat
Berkurangnya sirkulasi siklonik di sekitar Laut Mentawai dan ekuator, yang menyebabkan rendahnya ketersediaan uap air
Selain itu, gangguan atmosfer yang terjadi di Samudera Hindia dan wilayah utara seperti Filipina hingga China berdampak luas dalam mengurangi suplai uap air, sehingga pembentukan awan hujan dari arah Samudera Hindia pun semakin sedikit.
Pemerintah Provinsi Sumbar menargetkan tercapainya swasembada pangan, khususnya beras. Berdasarkan data dari laman infopublik.id, target luas tanam padi tahun ini adalah 578.859 hektare. Hingga akhir Juni, baru terealisasi 9.038 hektare. Namun pada Juli, terjadi lonjakan sebesar 36.202 hektare, sehingga total realisasi mencapai 45.554 hektare. Meski begitu, berkurangnya debit air irigasi dan rendahnya curah hujan telah memengaruhi produktivitas sawah secara signifikan.
Di Kabupaten Solok, Tanah Datar, dan Lima Puluh Kota, sawah-sawah sudah mengalami kekeringan. Musim tanam kedua untuk sawah tadah hujan dan irigasi sederhana yang bergantung pada aliran sungai juga telah sangat berkurang. Petani di daerah Malalo (Tanah Datar) sudah mengalami gagal tanam, baik untuk padi maupun jagung. Hal serupa juga dialami di Sei Tarab, Rambatan, Padang Ganting, serta beberapa kecamatan lain di Kabupaten Solok.
Sejumlah petani bawang di Surian masih berupaya untuk terus menanam meski dalam kondisi kekurangan air. Mereka yang memiliki fasilitas irigasi tetes dan sumur cadangan masih bisa berproduksi secara optimal, tetapi petani yang hanya mengandalkan curah hujan harus bersiap menghadapi risiko gagal tanam.
Untuk menghadapi kondisi ini, petani bersama Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait di Sumatera Barat perlu mengambil langkah-langkah adaptif dan antisipatif, seperti penetapan tanggap darurat untuk karhutla. Sebagai contoh, di daerah irigasi Anai 2, Kabupaten Padang Pariaman, yang sedang menjalani perbaikan saluran, aliran air untuk lahan pertanian dari wilayah Sintuk Toboh Gadang hingga Sunur Nan Sabaris dan Ulakan Tapakis telah dihentikan sementara. Oleh karena itu, petani disarankan untuk sementara waktu beralih dari komoditas padi ke tanaman palawija yang lebih tahan kekeringan, seperti jagung.
BMKG Stasiun Klimatologi Sumatera Barat memprediksi awal musim hujan akan mulai terjadi secara bervariasi antara bulan September hingga Oktober 2025. Kita berharap kemarau ini tidak berkepanjangan agar para petani dapat kembali melakukan aktivitas tanam secara normal. (*/)